Kertas di Meja Terbakar

Gusti Hyang
3 min readFeb 25, 2024

--

kawanku, kuharap bilik pikiranmu masih setia menidurkanku dengan musik marah-marah. itu artinya kau masih dan selalu menolak hal-hal bodoh dariku, dan begitulah kita, tidak bisa hidup selain sebagai yang bayangkan pikiran-pikiran orang. otakmu seluas kamar kos 300ribuan yang isinya poster motivasi, majalah dewasa, aplikasi penghasil uang, tempat sampah bau amis, dan cermin yang gagal memantulkan wajah aslimu.

kurasa kau adalah diriku yang lain. namun, sesuatu yang bohong di pikiranmu menggerogotiku. Hari ini hal-hal bodoh hanya boleh bermain-main di kepala. tapi aku tidak pernah bebas menjadi semacam itu, bahkan di kepalamu. setidaknya jujurlah sebagai kawan. cerita-cerita hanya asik di kepalaku yang lelah dengan segala hitung-hitungan. hidup semakin acuh pada sekitarnya. kita bukan yang hidup. kita hanya bertugas ngupil dan menyaksikan yang hidup mondar-mandir di depan pintu-pintu keputusan.

aku memaksa masuk ke ruang terkecil dari kemungkinan-kemungkinan demi mempertanyakan mengapa kita tidak pernah mencuri kelapa dan berdoa untuk barang curian. aku hanya menemukan umur yang kadaluarsa untuk hal-hal semacam itu. genap dua puluh tahun aku merayakan kelahiran dan air mata yang sebenarnya tidak pernah direstui, yang juga tetap bingung, bahkan tak bisa menaruh benci padanya.

telingaku pengar mendengar air mata yang pernah sederas liur pekerja lembur itu. pun kamarmu sesak karena sambat-sambat tiap malam dan alarm pagi yang berteriak. kita kembali ke hari-hari tanpa alasan dengan semangat yang kelihangan fungsinya. apa pernah kau rongrong kapalamu tidak hanya untuk tugas-tugas, melainkan untuk bertanya mengapa kau harus menggarapnya. hari demi hari semakin kacau. orang-orang besar akan membatasi umur kita dengan menjauhkan jam keberangkatan dan kepulangan. proklamasi melepaskan kita dari sengketa kuasa, ternyata sebatas kemenangan dan kekalahan lumpuh. di balik lapangan, orang-orang besar akan menaruh harga tinggi. artinya kemerdekaan tidak lebih dari bola yang dioper-oper.

tabungan menangisku sudah habis, dengan itu aku harus menemukan formula baru untuk meniti hari. aku tak punya kekuatan untuk meratap lagi. kuharap tulisan ini sampai pada bagian hatimu yang memaki-maki. aku lebih mengenalmu di permakian dan seperti itulah aku merasa memilikimu, lebih baik lagi jika kamus makianmu semakin tebal. alangkah lebih indah jika merayakan kekalahan dengan meludahi dunia. tapi, sekali lagi kubilang; kau akan diserang jika hal-hal bodoh biar umbar dari kepala. bagiku, kita tidak lebih dari pusing-pusing kecil yang semakin dekat dengan kesia-siaan. tapi, setidaknya kita tidak memasrahkan hidup pada pembicara pengajian atau kampanye.

kita sama pernah merasa lahir. namun, di waktu yang sama kita dicacatkan. tak ada yang milikku, tidak ada yang sepenuhnya milikmu. gagallah kita menjadi merdeka. dan, persetan! orang-orang terlanjur terjerat perlombaan. dan kita yang terjebak di antara kebingungan mereka ternyata sama bajingan. lebih memilih membangun istana dan peleton-peleton bayaran daripada membentuk lingkaran dari tangan yang saling bergandengan.

kutulis ini untukmu. kuharap kau mengingatku cukup sebagai tulisan. terdengar lebih pantas seperti itu. meskipun tidak jauh membosankan daripada malam engapmu. tapi aku tak peduli. sebentar lagi tulisan ini akan jadi dan aku tak berharap lebih dari kesendirianmu yang terusir. persetan dengan doa-doamu yang membuat langit-langit mulutmu bengkak. kita akan tetap satu atap dengan waktu luang palsu dan rehat-rehat omong kosong. aku memilih menjagamu agar tidak berakhir di padatnya jam kerja. kita lebih baik terjerat dalam kotak kedap suara dan mendengarkan jantung bekerja sebelum segalanya selesai. tapi kesepian dan ketenangan semacam kebersamaan anak kembar.

para pemerhati hidup yang menerima tulisan ecer ini, kurasa aku juga telat angkat kaki dari kalkulasi. otakku tumpul sehingga begini ada yang jadi. surat yang tidak pernah selesai. selesai kutulis atau kumaki.

--

--

Gusti Hyang
Gusti Hyang

No responses yet